Abstract:
Tindak pidana penipuan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat. Penipuan ringan (lichte oplichting), sebagai salah satu
jenis tindak pidana penipuan, melibatkan perbuatan tipu muslihat atau rangkaian
kebohongan yang bertujuan untuk mengelabui orang lain sehingga menimbulkan kerugian.
Salah satu kasus mengenai tindak pidana penipuan ringan (lichte oplichting) yaitu kasus
penipuan ringan berdasarkan Putusan Perkara Nomor 1/Pid.C/2022/PN Bar, di mana
terdakwa terbukti melakukan penipuan secara berlanjut terhadap tiga orang korban, dengan
modus meminta ditransfer sejumlah uang ke rekening bank dengan alasan dompet
tertinggal, lalu melarikan diri tanpa membayar. Nilai kerugian masing-masing korban
adalah sebesar Rp1.750.000,00. Dalam kasus ini, terdakwa dijerat Pasal 379 KUHP jo.
Pasal 65 ayat (1) KUHP karena perbuatan dilakukan secara berulang.
Adapun tujuan identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut untuk mengetahui
dan menganalisis tindak pidana penipuan ringan (lichte oplichting) di Indonesia
berdasarkan pasal 379 Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
dengan Pasal 493 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Metode penulisan yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normative,
Penelitian ini difokuskan untuk memahami penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma
dalam hukum positif.
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa penipuan ringan dalam
Pasal 379 KUHP yang berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
memberikan pengaturan yang relatif sederhana, dimana kerugian yang ditimbulkan oleh
penipuan ringan dianggap lebih kecil dan tidak memberikan dampak yang signifikan.
Ketentuan ini juga memberikan keleluasaan bagi aparat penegak hukum untuk menilai dan
menentukan sejauh mana suatu tindakan dapat dipidana berdasarkan kerugian yang timbul.
Hal ini terkadang menimbulkan kesulitan dalam penegakan hukum yang konsisten, karena
tingkat kerugian yang tidak selalu dapat diukur secara objektif. Sementara Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berupaya untuk
merespons tantangan zaman, termasuk didalamnya penipuan dengan menggunakan
teknologi. Pasal 493 lebih eksplisit dalam mendefinisikan bentuk penipuan yang dilakukan
dengan cara-cara modern, seperti penyalahgunaan informasi atau penipuan berbasis digital.
Selain itu, Pasal 493 juga memberikan ruang yang lebih luas bagi hakim untuk
mempertimbangkan aspek kerugian yang tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga
mencakup kerugian immateriil atau psikologis yang dapat dialami oleh korban penipuan.
Saran yang dapat disampaikan antara lain, masyarakat perlu diberikan edukasi
lebih lanjut tentang bentuk-bentuk penipuan yang berkembang di era digital dan
bagaimana cara mencegahnya. Oleh karena itu, program penyuluhan hukum mengenai
penipuan digital sangat diperlukan agar masyarakat lebih waspada dan tahu bagaimana
melindungi diri mereka dari ancaman penipuan.