Abstract:
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
mengandung makna segala tindakan dan pola tingkah laku warga negaranya harus
sesuai dengan norma- norma dan ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh
negara. Salah satu bentuk kejahatan di masyarakat dan sangat meresahkan adalah
tindak pidana pencabulan, perlindungan terhadap hak-hak penyandang disabilitas,
termasuk tunagrahita, merupakan bagian dari tanggung jawab negara dalam
menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara tanpa
diskriminasi. Dalam praktiknya, penyandang tunagrahita kerap menjadi kelompok
yang rentan terhadap tindak pidana, salah satunya adalah tindak pidana
pencabulan
Penelitian ini membahas perlindungan hukum terhadap penyandang
tunagrahita sebagai korban tindak pidana pencabulan dalam perspektif ketentuan
Pasal 293 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penyandang
tunagrahita merupakan kelompok rentan yang kerap menjadi sasaran kejahatan
seksual karena keterbatasan dalam memahami situasi dan membela diri. Pasal 293
ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memberikan dasar hukum untuk
menjerat pelaku yang menyalahgunakan kekuasaan, kepercayaan, atau pengaruh
terhadap anak di bawah umur, termasuk mereka yang memiliki disabilitas
intelektual.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan
perundang-undangan dan studi kasus untuk menganalisis efektivitas perlindungan
hukum yang diberikan. Penelitian ini juga dilakukan melalui studi kepustakaan
dengan bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Berdasarkan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa Perlindungan
hukum terhadap tunagrahita sebagai korban tindak pidana pencabulan berdasarkan
Pasal 293 ayat (2) KUHP secara normatif telah diatur, namun dalam
implementasinya di lingkungan Jelat, Kota Banjar, masih menghadapi berbagai
kendala. Penegakan hukum belum sepenuhnya memperhatikan kondisi khusus
penyandang disabilitas intelektual, seperti keterbatasan dalam komunikasi,
pemahaman hukum, serta kebutuhan akan pendampingan khusus. Oleh karena itu,
dibutuhkan upaya sistematis berupa peningkatan pemahaman hukum, penyediaan
pendamping profesional, serta kolaborasi antara institusi hukum, keluarga, dan
lembaga sosial untuk memastikan perlindungan hak-hak tunagrahita terlaksana
secara efektif dan adil