Abstract:
Latar belakang penelitian ini didasarkan pada masih lemahnya pelaksanaan norma tersebut dalam praktik peradilan pidana, sebagaimana tercermin dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 1/Pid.Sus/2025/PN Cms. Meskipun peraturan perundang-undangan telah memberikan dasar hukum yang kuat bagi korban untuk memperoleh ganti kerugian berupa restitusi, dalam kenyataannya amar putusan hakim hanya menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku tanpa mencantumkan pemulihan hak korban. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pengaturan normatif dan realitas penerapan hukum, serta mencerminkan kurangnya keberpihakan sistem peradilan terhadap kepentingan dan pemulihan korban, khususnya anak-anak yang sangat rentan secara fisik dan psikologis.Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan normatif dan implementasi dalam praktik hukum terhadap hak restitusi bagi anak korban tindak pidana kekerasan seksual menurut Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, serta bagaimana pelaksanaannya dalam Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 1/Pid.Sus/2025/PN Cms; dan bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan hak restitusi terhadap anak korban dalam perkara tersebut berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif melalui studi kepustakaan dan studi lapangan, untuk menganalisis pengaturan dan implementasi hak restitusi bagi anak korban kekerasan seksual berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 dalam Putusan Nomor 1/Pid.Sus/2025/PN Cms.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa meskipun hak restitusi bagi anak korban tindak pidana kekerasan seksual telah diatur secara tegas dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, implementasinya dalam praktik peradilan masih belum optimal. Dalam Putusan Nomor 1/Pid.Sus/2025/PN Cms, tidak terdapat amar maupun pertimbangan hakim yang memuat ketentuan mengenai restitusi, yang mencerminkan adanya kesenjangan antara norma hukum dengan realitas pelaksanaan di lapangan. Hakim hanya berfokus pada aspek pemidanaan terhadap pelaku tanpa mempertimbangkan pemulihan korban, sehingga prinsip perlindungan dan keadilan restoratif bagi anak korban belum sepenuhnya terwujud dalam sistem peradilan pidana.Pemerintah dan pembuat kebijakan perlu membuat sistem atau mekanisme prosedural yang jelas dan terstandardisasi untuk memastikan hak restitusi dapat direalisasikan dalam setiap tahapan proses hukum, mulai dari penyidikan hingga penjatuhan putusan.