Abstract:
IMPLEMENTASI PASAL 5 AYAT (4) UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA DIHUBUNGKAN DENGAN KEDUDUKAN KEPALA OTORITA IBU KOTA NUSANTARA
Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara mengatur bahwa Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketentuan ini berbeda dengan mekanisme pemilihan kepala daerah pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang mewajibkan pemilihan secara demokratis. Permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini adalah mengenai implementasi Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dihubungkan dengan Kedudukan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan Kedudukan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan spesifikasi metode yuridis normatif dan pendekatan statute approach. Data diperoleh melalui studi kepustakaan, telaah Peraturan Perundang-Undangan, dokumen resmi pemerintah, serta risalah rapat DPR terkait proses konsultasi penunjukan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pada periode Presiden Joko Widodo (2022), konsultasi penunjukan Kepala Otorita dilakukan secara tertutup, sedangkan pada periode Presiden Prabowo Subianto (2024) dilakukan secara formal sesuai tata tertib DPR. Meskipun berbeda prosedur, kedua proses tetap menempatkan keputusan akhir di tangan Presiden sehingga partisipasi publik dan representasi lokal tetap terbatas. Ketiadaan DPRD di Ibu Kota Nusantara membatasi fungsi pengawasan legislatif di tingkat daerah, sehingga akuntabilitas sepenuhnya bergantung pada mekanisme pengawasan pusat. Kesimpulannya, implementasi Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Ibu Kota Nusantara cenderung memperkuat sentralisasi kekuasaan dan belum sepenuhnya selaras dengan prinsip demokrasi lokal. Berdasarkan temuan tersebut, disarankan adanya regulasi tambahan atau mekanisme pengawasan alternatif yang melibatkan perwakilan masyarakat lokal dan memperkuat transparansi proses penunjukan Kepala Otorita, sehingga keseimbangan antara efektivitas pemerintahan daerah khusus dan prinsip demokrasi dapat terwujud.